Home | Sejarah | Pimpinan | Inti Ajaran | Artikel | Arsip | Kontak Kami
Opini-1

Sabtu, 14 Mei 2011

Kini Orang Indonesia Memiliki Banyak Tuhan

“Tuhannya orang Indonesia, banyak.” Kalimat ini terdengar agak ganjil. Sebab secara teologis, masyarakat Indonesia tidak menganut sistim politheisme. Tambahan lagi secara umum baik saat shalat maupun sesudahnya, bertasbih dan bertahmid, sudah kebiasaan. Bahkan tersimpul selalu kalimah thaibah: laailaha ilaullaah wahdah laa syarikalah lahul mulku walahul hamdu yuhyii wa yumiit wahuwa ala kulli sayin qaadiir . Tidak ada Tuhan selain Allah, yang Esa. Tidak bersekutu. Baginya segala kekuasaan dan semua bentuk pujian. Yang menghidupkan dan yang mematikan. Dialah Allah Tuhan yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu.Begitu hebatnya pengakuan itu. Persoalannya, benarkah masyarakat muslim Indonesia telah mengesakan tuhannya? Maaf kalau analisa saya keliru. Tapi fakta-fakta berikut ini membuktikan bahwa umat Islam Indonesia memang memiliki Tuhan yang jumlahnya tidak sedikit:

1. Sebagian besar masyarakat Indonesia dari lapis bawah hingga para elit pimpinannya mempercayai dukun, orang pinter atau paranormal! Harian Republika pernah mengungkap umumnya pemeluk Islam Indonesia mempercayai aspek perdukunan, klenik, syirik memadukan ibadah dengan ritual-ritual tertentu bid’ah, takhayul dan khurafat yang sebetulnya menyimpang dari sisi akidah (Reb/8/2007). Amalan-amalan tertentu, isim, zimat yang umumnya berorientasi pada kepentingan pribadi; kekuatan, wibawa, kesaktian dll, sudah biasa. Coba telusuri secara jeli, saat musim Pilkada. Perdukunan, peran tokoh spiritual, orang “pinter” bisa dipastikan payu, laris. Bila jujur saja diakui, akan terungkap fakta bahwa mulai pejabat rendahan sampai pemangku jabatan paling bergengsi di Republik ini, umumnya memiliki beckup tokoh spiritual tertentu yang dianggap mampu memberikan bantuannya!

2. Kecuali yang “nekat” atau memiliki akses tertentu, umumnya bawahan sangat takut pada atasannya sendiri, melebihi takutnya kepada Allah. Di swasta atau di kantor-kantor pemerintah, apalagi. Sama saja. Lagi-lagi, ini hanya akan terungkap dengan kejujuran. Fakta secara umum menunjukkan, bawahan tak akan pernah berani menolak atasannya. Bahkan ada perasaan takut untuk sekedar menunda, pada saat si Bos menyuruhnya untuk menghadap. Nah, bagaimana takutnya seorang bawahan ketika atasannya memanggil, lalu bandingkan dengan saat adzan berkumandang, saat Tuhan Allah yang Maha Bos menyeru manusia menunaikan shalat. Masih adakah perasaan takut semacam tadi sehingga sedetikpun kita tak berani menunda perintah shalat?

3. Sebagian besar orang Islam di Indonesia memperebutkan jabatan. Tengoklah kisruh hirukpikuk politik pada partai atau di lembaga-lembaga Negara di Republik ini. Kekuasaan, jabatan menjadi segalanya. Lain di mulut, lain pula real politic yang terjadi. Jabatan bukan hanya mendatangkan gengsi, tetapi juga menjadi lahan pendapatan, money machine bagi penyandangnya untuk berburu rupa-rupa kenikmatan hidup di alam fana ini . Lalu dimanakah pengabdian itu? Pengabdian kepada rakyat yang sesungguhnya tidak akan pernah muncul jika untuk menduduki suatu posisi harus terlebih dahulu mengeluarkan sejumlah biaya membeli “tiket masuk”.

Bagaimana mungkin memikirkan amanah yang teremban, jika pada prioritasnya orang harus berpikir terlebih dahulu “balik modal” atas investasi politik yang telah dikeluarkannya Itu.

Siapapun manusia selama masih hidup dialam dunia pasti membutuhkan material duniawi. Namun jika hal demikian dilakukan dengan segala tipudaya, rekayasa menghalalkan segala cara dan bahkan berani menutup rapat nuraninya hanya untuk sebuah kenikmatan duniawi, yang diyakini tak berdurasi lama, maka sejak saat itu manusia telah manjadikan dunia sebagai ilahnya (Tuhan).

Manusia menjadikan jin sebagai rekanan, meminta perlindungan kepadanya dan menjadikannya sebagai ilah (QS.72:6) Bani Israel larut dalam kerinduan yang berlebihan terhadap ijla (anak lembu) yang dijadikannya sebagai ilah (Qs.2:93, 20:91) dan para penyembah berhala sangat tekun melakukan pengabdian karena selalu rindu padanya. (Qs.26:71). Sebagian besar manusia yang mengilahkan (menuhankan) kehidupan dunia, merasa tenteram dengan mengandalkan duniawi dan gelisah dengan ketiadakadaannya. Mereka sudah menjadikan kehidupan dunia sebagai Tuhannya.(QS.10:7-8), dalam ayat berikutnya Allah nyatakan “apakah kamu tidak menyaksikan tidak sedikit manusia yang menjadikan hawanapsu sebagai ilahnya (Tuhannya).

Saya tidak mampu seterusnya untuk satupersatu menyebutkan keterangan ayat Tuhan tentang Ilah (tuhan). Hanya sekilas ayat-ayat diatas jelas sekali menggambarkan bahwa sebutan Ilah oleh Allah SWT dalam Alqur’an bukan hanya yang berbentuk riil seperti berhala, sapi (yang disembah) atau patung-patung (ashnaam), tokoh atau pimpinan yang dikultuskan tetapi juga sesuatu yang tak kasat mata. Sesuatu yang abstrak. Dalam surat Al-baqarah ayat 165 dan juga ayat lainnya tuhan-tuhan tandingan tadi diistilahkan dengan andaad yakni sembahan-sembahan selain Allah. Sesuatu yang dicintai oleh kaum musyrikin sama dengan mencintai Allah karena mereka sangat cenderung atau dikuasai olehnya.

Allah menyebut semua dosa manusia bisa diampuninya kecuali dosa musyrik. Musyrik artinya menduakan Allah. Percaya kepada Allah tapi juga meyakini ada sumber lain yang memberi “power” tertentu bukan dari Allah. Dalam pada itu, ibadah dan rangkaian istighatsah apa yang Allah terima dari manusia yang berstatus musyrikin?

Para ulama teologi/tauhid sepakat bahwa defenisi ilah (tuhan) seperti yang termaktub dalam Al-kitab meliputi atara lain sesuatu yang sangat digandrungi, diharapkan (Al Marghub). Sesuatu yang sangat ditakuti (Al Marhub). Dzat yang amat sangat dicintai, dipuja dan dipuji (Al Mahbub). Yang pasti selalu diikuti atau ditaati (Al Matbu). Jadi, kembali ke persoalan pokok dalam catatan ini.

Sudah seberapa seriuskah kita menegasikan ilah lain selain Allah dalam kehidupan ini?

ekedar renungan, sahabat bayangkan deretan musibah yang masih belum berhenti mendera bangsa ini akibat kemusyrikan dan kemunafikan yang sudah amat biasa di tengah-tengah masyarakat kita; paradox nilai-nilai moral, ketimpangan dan penyimpangan sosial, anomali cuaca, kecelakaan pada darat, udara dan air, tsunami, naiknya air laut ke daratan, banjir, hingga ulat bulu yang menyerang perkampungan penduduk. Masih kurangkah ini menegur kelalaian kita? Atau sekedar untuk sesaat “mengalihkan isu” sebut saja semua musibah-musibah itu-- karena susahnya jujur--sebagai ujian Tuhan. Ya Allah…padahal sudah jauh-jauh hari Allah menegaskan”kerusakan di daratan dan di lautan adalah akibat perbuatan manusia itu sendiri”.

Kemusyrikan tak bisa clearing dengan basmalah atau tasbih dan tahmid! Dalam kaitan itu saya seperti tak bosan mengajak kita semua merenungi, menghayati konten “kalimosodo” dan mengamalkan semua komitmen awal insani dihadapan Tuhannya. Mempertimbangkan hal-hal diatas, saat shalat maupun diluar shalat, update keimanan dengan memperbanyak amalan syahadatain memang menjadi penting . Semoga di akhirat kelak kita berkumpul bersama-sama orang yang beriman dan para shalihin. Sehimpun dengan orang-orang yang telah Allah karuniakan nikmat kepadanya dan bukan beserta mereka yang tersesat, mereka yang menerima kebencian dari Tuhannya. Sirathall laziina an’amta alaihim ghairilmaghduubi alahim waladdhaaliin.amiin.


Diposkan oleh YAYASAN AKHLAQUL KARIMAH DARUL IMAN INDONESIA di 07.35