Home | Sejarah | Pimpinan | Inti Ajaran | Artikel | Arsip | Kontak Kami
Artikel YAKDI

Sabtu, 17 April 2010

Penjelasan (1) makna syahadatain: Melainkan bukan Selain

“Hamba bersaksi bahwasanya Tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan hamba bersaksi bahwasanya Muhammad adalah Nabi dan utusan Allah.”

“Di sela-sela waktunya yang padat, sebagai Direktur Utama sebuah bank Nasional ternama, Tuan Abdullah, masih sempat mengunjungi masyarakat kumuh miskin di daerah pinggiran Jakarta, setiap minggunya. Selain itu, ia aktif mengikuti taklim di sebuah musholla di sekitar tempat tinggalnya”. Sejauh ini, masyarakat mengenalnya sebagai seorang yang dermawan, selain itu, karena aktifitas dan kepeduliannya selama ini, Ia memperoleh penghargaan “Pria Sejati Award” versi sebuah majalah terkenal Ibu kota.

Kata “Selain” dalam contoh paragraf diatas, menjelaskan bahwa Tuan Abdullah memiliki banyak aktifitas : sebagai Direktur Utama di sebuah bank, rajin menyantuni faqir miskin, juga aktif di pengajian di tempat tinggalnya. Kata “Selain” dalam paparan diatas juga menggambarkan bahwa prestasi beliau tidak sedikit. Terkenal dermawan dan memperoleh pengakuaan Pria sejati dari sebuah majalah. Bisa jadi masih puluhan aktifitas lain juga prestasinya yang tidak terungkap dalam tulisan tersebut. Ya, kalimat itu memang hanya sebuah contoh belaka.

Yang ingin saya ungkap melalui tulisan ini adalah bahwa sebetulnya ketika kita beriqrar dengan kalimat pernyataan, “Tidak ada Tuhan selain Allah”, sesunguhnya mengandung pengertian yang terselubung bahwa masih ada Tuhan-tuhan lain yang exis di sekitar kita. Untungnya, meski baru “sekedar” pernyataan, dalam kalimat tersebut dinyatakan juga: Tidak ada Tuhan (yang diakui keberadaannya sebagai Tuhan), selain Allah. Namun sekali lagi menurut hemat saya, penggunaan kata “selain” jelas menggambarkan (diakui atau tidak) adanya Tuhan-tuhan lain selain Allah di alam semesta ini. Menggunakan kata selain dalam kalimat persaksian, tetap tidak menghilangkan kesan ihtimal, bahwa sebetulnya Tuhan di sekitar kita jumlahnya banyak.

Berangkat dari persoalan tersebut, Majelis Dzikir Darul Iman Yayasan Akhlaqul Karimah berpendapat, bahwa sebaiknya pernyataan persaksian dalam dua kalaimat syahadat tidak lagi menggunakan kata “Selain”, (seperti yang lumrah ditengah-tengah masyarakat kita. Yakni ucapan: “Aku bersaksi, bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah”) Sahabat, ada kalimat yang lebih tepat untuk menggambarkan ke-esaan Tuhan pada kalimat persaksian keimanan kita yaitu kata “Melainkan”. Jadi, kalimat persaksian ini berbunyi: Hamba bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Allah.

Kata “melainkan”, sungguh menegasikan ada dan keberadaan Tuhan yang berjumlah banyak. Kata melainkan dalam kalimat tersebut, betul-betul berhasil menyetop ihktimal (potensi kemungkinan) makna adanya tuhan-tuhan lain. Hal ini sejalan dengan penggunaan kata La dalam laa ilaaha ilaulaah. Dalam ilmu Tatabahasa Arab, kata La yang berarti tidak, menunjukkan la annaafiyati liljinsi, an-nafyil khabar ‘an jinsil waqie ala sabiilil istighraq. Maksudnya betul-betul menafikan jenis-jenis lain, menegasikan, melumat habis peluang sekecil apapun munculnya potensi tuhan-tuhan lain. Karenanya fungsi huruf La ini, biasa disebut juga sebagai la attabri’ah, yang artinya membebaskan, menafikan (lihat: jamiiud-duruus karangan syeikh almusthofa algallayayn hal 328).

Apa maksud dari pernyataan yang seolah verbalitik ini? Sebagian orang mungkin menganggap enteng. Atau tidak begitu penting. Bagi kami hal ini amatlah penting. Sebab langsung berhubungan dengan masalah aqidah, masalah Tauhid yang merupakan inti normatif ajaran Tuhan! Allah SWT senantiasa menilai setiap ucapan kita. Setiap pernyataan akan diminta pertanggungjawabannya kelak. Terlebih yang menyangkut dengan pernyataan persaksian, yang pasti menimbulkan resiko bagi pelakunyaa. Urgen, karena ia adalah kalimat akad (aqaaid/aqidah) persaksian atau akad antara kita manusia dengan sang Al-khaliq. Tengoklah banyak sekali firman Allah yang menegaskan kepada kita untuk menyatakan persaksian iman kepada Allah. Allah bukan tidak tahu apakah seseorang beriman atau tidak. Allah Maha Mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi dari masing-masing diri manusia. Hanya dalam kaitan Iman, Allah “meminta” pernyataan kita: Isyhadu bianna muslimuun. Saksikanlah bahwa kami adalah penganut Islam (orang yang berserah diri). Sahabat, Tidak usah susah cari ayat-ayatnya, dalam Al-kitab, lihat saja dulu surat Al-Imran. Sempatkan waktu, baca pelan-pelan dengan artinya. Banyak sekali tertera disitu, khususnya pada ayat 78 sampai 95.

Menurut keyakinan kami, tumbuh-tumbuhan dan hewan juga bersaksi, tentang keesaan Allah. Alam semesta ini juga bersaksi semuanya menyatakan,”Tidak ada Tuhan melainkan Allah.” Malaikat, para Nabi, juga para wali–wali Allah (Lihat Al-quran s. An-nisa 165-166). Bahkan Allah sendiri yang bertindak sebagai Al-khaliq (Sang Pencipta) juga bersaksi kepada dirinya sendiri atas ke-Esaan dirinya! Lihat Al-Imran ayat 18. Intinya, persaksian ini sangat berperanan penting dalam hidup dan kehidupan orang yang berkeyakinan. Lihat sejumlah ayat 79-81 dalam surat Al-Imran, semunya memperkuat argumen ini.

Dalam sejumlah ayat tersebut, bisa disimpulkan bahwa kualitas dan martabat seseorang ditentukan oleh daya terimanya terhadap kebenaran ajaran-ajaran Tuhan. Kebenaran janji-janji Allah yang sebelumnya telah pernah berlangsung pula pada umat-umat terdahulu. Bukti keyakinan terhadap isi firman itu mereka realisasikan dalam iqrar bahwa siap hanya bertuhan satu yaitu Allah dan mengimani Nabi Muhammad sebagai Rasulnya. Yakin-seyakinnya bahwa hanya Allah tempat meminta pertolongan, meminta bantuan dan perlindungan dalam segala hal, di dunia maupun di akhirat.

Allah SWT sebagai yang Maha atas segalanya, tidak akan pernah sedikitpun mengabaikan permohonan hambanya. Asal tentu saja sang hamba memiliki keyakinan yang teguh, keihlasan dan kepasrahan yang tak bertepi hanya kepada ilahi rabbi...sang haamba tidak pernah gentar menghadapi apapun, sebab yang dia memiliki sandaran kepada yang paling maha, Maha segala-galanya! kalau sudah demikian Allah langsung menjawab iqrarnya si hamba dengan sebuah pernyataan yang indah namun pasti! “Pada hari ini telah akau sempurnakaan bagimu keyakinanmu, aku cukupkan segala nikmatku untukmu, dan aku meridhaimu, Islam menjadi agama bagimu. (surat Al-maidah: 3).

Sekarang, Orang Indonesia, Tuhannya banyak

Orang Indonesia dewasa ini, dari pemimpin sampai rakyatnya, sebagian besar adalah pembohong. Itu seloroh guru kami dalam sebuah kesempatan. Sakit mental sakit juga imannya, katanya. Bangsa ini memang sedang sakit parah. Tak aneh, kalau kebohongan menjadi sarapan sehari-hari. Apa yang disangghnya, justru itupula yang beneran kejadiannya. Itu respon masyarakat dan media saat para elit di jajaran kepolisian didera sejumlah kasus belakangan ini. Makelar kasus ada dimana-mana, di Polisi, jaksa, hakim, pengusaha, juga para ustad dan kiyainya!

Sebagian dari kita tidak kuat lagi menahan godaan kenikmatan kehidupan dunia. Ujungnya-ujung duit juga. Kebenaran tergadaikan, derita orang lain lewat begitu saja sebab tak mampu lagi membangunkan nurani yang kian tertutup oleh janji kilaunya kekuasaan dan kesenangan. Atau sudahlah cari selamat sendiri-sendiri aja dulu. Padahal jelas, kebobrokan Bangsa ini adalah buah karya para pemimpinnya, olah manajerial para elitnya juga. Tidak ketinggalan kiprah konkrit rakyatnya yang sebagian besar gampang dibohong-bohongi. Berpihak, berdesakan-desakan, kemudian berdemo, habis-habisan sampai pertengkaran antara teman, karena tergiur oleh casing para elitnya, terpropokasi oleh penampilan dan pencitraan. Bahkan ada yang puas hanya dengan “salam tempel” Rp 50.000-an.

Kemudian kini setelah borok-borok birokrasi dan keberpihakan hukum terbukti penyimpangannya, pemberantasan korupsi, kejahatan sesuai pesan sponsorshif. Ongkos makan, naik. Harga pupuk, dan kemudian harga beras tidak mau lagi bersahabat dengan kemampuan kantong rakyat yang cekak, biaya terang listrik juga terang akan kian naiknya, biaya sekolah yang bagi si jelata tak pernah bisa murah, dan hal lain yang tidak lagi sanggup mengendap di otak. Lalu, rakyat pun bingung, siapakah gerangan pemimpinku sekarang? Dimana para wakilku?
Ke ulama saja. Tapi ulama yang mana. Saya sendiri bingung hampir sulit membedakan ulama kiyai dan selebriti. Terlebih jika para ahli hukum agama ini sudah berkubang di dunia industri! Kemudian jadi satu dengan iklan, ach, sama saja! Sebagian dari mereka banyak juga yang berteriak jihad! Tak lama setelah itu, lalu munculah konplik horizontal. Main sikat, main gasak, naudzubillah! Siapa yang bertanggungjawab?

Saudara-saudaraku susah bagi rakyat, sudah biasa. Kita sebagai rakyat bangsa ini sudah biasa hidup susah. Meski kemajuan globalisasi memang tampak nyata di depan kita. Semuanya jadi serba canggih, maju dan kian mudah akibat perubahan tehnologi. Satu hal yang belum-belum juga banyak berubah sampai sekarang adalah sektor ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Melalui tulisan ini saya hanya mengajak kepada kita semua, mari kita perkuat akidah. Hidup boleh susah tapi akidah tak boleh goyah. Jangan karena kesulitan lalu kita menghalalkan segalanya. Siapa yang tak butuh uang? Tega, kejam nian mengorbankan orang. Ach tak apalah, lakukan saja segalanya, yang penting toh ada hasilnya , uang! Saat kita bersandar diri kepada harta, semacam itu, maka saat itu harta tersebut menjadi ilah (tuhan) bagi kita. Saat firman Tuhan sementara kita simpan sembunyikan karena takut kehilangan jabatan, maka jabatan saat itu menjadi Tuhan kita. Tanya sana-sini ke orang pintar, termasuk dukun, musyrik, hukumnya. Ach tak apalah yang penting infonya agar status quo, posisi jabatan kedepan bisa bertahan! Pantaslah bangsa ini tak pernah sepi dari adzab Allah SWT. (maaf bukan ujian, tapi adzab). Karena sebagian masyarakat bangsa ini sudah lama sekali mengingkari kebenaran firman Allah SWT. Merasa aman saja menjadi orang beragama, hanya lantaran tidak pernah merasa pindah agama.

Padahal, mau jujur saja susahnya.....minta ampun. Jujurlah, betulkah kita telah benar-benar bersandar kepada Allah dalam hidup dan kehidupan ini? Kita bersaksi bahwa Allah Tuhan yang Maha Esa, tapi kenapa kita tidak juga bersikap jujur bahwa kita memiliki banyak Tuhan lain. Mengapa kita terus berbohong? Mengapa kita jadi Sombong? Jawabannya karena kita merasa kuat ada Tuhan. Tuhan yang banyak direbutkan banyak orang, di Republik ini sekarang :Tuhan uang dan Tuhan kekuasaan, populeritas dan jenis-tuhan-tuhan lainnya.. Ya Allah, ya Rahman....beraninya bangsa ini menduakanMu....

Sahabat, se-Bangsa dan se-Tanah Air. Rasanya tidak salah kalau saya mengajak kita semua untuk senantiasa memperbanyak Syahadatain dalam setiap kesempatan, mengkoreksi selalu yang kita telah kerjakan, barusan, seharian. Bertaubat, lalu susul dengan permohonan ampun, Istihgfar panjatkan, sebanyak-banyaknya jangan lihat ukuran, kemudian perbanyaklah shalawat, lantunkan sebagai lambang cinta kita kepada Nabi, serta terimakasih kepada para penduhulu, para pejuang kebenaran di Republik ini.

Yakinlah Bahwa Allah tidak akan membiarkan kita terus terpuruk, seperti ini kalau kita mau berusaha. Menyempurnakan ikhtiar lahir bathin, lalu berdoa seyakin-yakinnya. Do'a adalah senjatanya orang yang beriman, demikian hadist Nabi. Tetap optimis, lalu jangan lupakan janji Allah: "Kalau penduduk di suatu bangsa beriman dan bertaqwa, maka pasti akan aku bukakan baginya keberkahan dari langit dan bumi.... (Nas)

Diposkan oleh YAYASAN AKHLAQUL KARIMAH DARUL IMAN INDONESIA di 09.58


Penjelasan (2) Makna syahadatain : Allah yang disembah, juga tempat menyembah

“Hamba Bersaksi bahwasanya Tidak ada tuhan melainkan Allah, Tuhan yang hamba sembah serta tempat hamba menyembah,”.

Tuhan yang berhak disembah hanyalah Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa. Tunggal tidak berbilang baik dzatnya maupun sifatnya. Semua yang ada pada Allah berbeda dengan mahluknya. Kaum muslimin menyembah Allah dengan seyakin-yakinnya. Mengapa? Karena Tuhan yang disembahnya adalah ghaib. Keyakinan pada yang ghaib sesuai rukun Iman, inilah yang menjadi faktor penentu adanya dimenasi ruhiyah seorang hamba kepada Allah juga hal-hal ghaib lainnya. Dalam ilmu Tauhid hal semacam itu disebut ‘aalamul mughayyabat. Manusia dianggap tidak beriman, jika tidak meyakini hal-hal tersebut.

Dengan demikian ibadah juga harus dipahami dan dilaksanakan dengan melibatkan aspek badaniyah/lahiriah (fhisik) juga aspek ruhiyah / bathiniyah (jiwa). Misalnya Shalat, jika dilaksanakan hanya dengan keterlibatan aspek lahir, maka shalat dianggap tidak sempurna. Meskipun secara aturan fiqh syah dan baik, tapi Allah hanya memberikan penilaian terhadap shalat yang dilakukan secara ikhlas dan khusyu. Kedua aspek ini sesungguhnya telah masuk aspek bathiniyah, sesuatu yang kurang proporsional dibahas terutama dalam ilmu Fiqh. Dalam shalat, khusyu merupakan puncaknya ibadah Shalat itu sendiri. Karena itu jika shalat adalah mi’raznya orang beriman maka ia benar-benar akan menjadi kenyataan, jika pelaksanaan shalat tidak melulu dilihat dari aspek gerakan ritual lahiriah semata.

Shalat yang bertumpu pada aspek lahiriyah, seolah-olah hanya ritual tanpa substansi, wadah tanpa isi, gerak tanpa jiwa. Kenyataannya, kualitas shalat semacam ini seringkali tidak membuahkan apa-apa bagi pendewasaan moralitas si pelakunya. Buktinya, banyak orang shalat tapi tetap melakukan kebohongan dan memelihara kemunafikan. Korupsi tetap berlanjut, padahal shalatnya dilakukan dan telah memenuhi prosedur ilmu sya’riat. Hal inilah yang oleh Allah disebut sebagaai orang yang celaka : Celakalah, orang yang shalat! (waylul lil mushaliin) karena shalatnya ternyata tidak berhasil mencegah perbuatan keji dan munkar.

Karenanya, memperkuat perspektif makna bathiniyah dalam ibadah hendaknya juga dilakukana pada puasa, zakat, haji dan ibadah mahdah lainnya. Agar kualitas ibadah kita dihadapan Allah semakin meningkat sementara itu amaliyah sosial berjalan seiring sesuai kehendak firman itu sendiri.

Allah SWT, adalah Tempat Menyembah. Maksudnya Tuhan yang disembah adalah Allah, Tempat menyembahnya, juga Allah. Allah ada, dimanapun kita berada, sepanjang kita meyakini dan mengikrarkan keberadaan Allah itu sendiri dengan semua resiko-resikonya. Masjid adalah tempat beribadahnya kaum muslimin, itu benar. Dijamin sebagai tempat yang bersih dan memang diperuntukkan hanya untuk beribadah. Tapi betulkah Allah SWT ada di dalam mesjid sehingga tempat menyembah Allah-nya berarti di masjid? Jawabannya, belum tentu. Allah ada di masjid! karena itu kita menyembah Allah di masjid. Bisa ya bisa tidak. Ya, karena masjid sebagai tempat menyembah Allah, dan saat menyembah itulah, Tuhan Maha Kuasa, “nur” Allah dan nur Muhammad ada hadir dalam jiwa kita. Fhisik secara lahiriyah, shalat. Bathin juga berkomunikasi dengan Allah saat shalat. Maka Allah ada dan hadir dalam jiwa kita saat itu di tempat tersebut.

Persoalnnya sekarang, walaupun kita shalat di mesjid, di tempat yang hanya untuk ibadah, tetapi karena Allah tidak hadir didalam pikiran dan jiwa, saat shalat, pikiran dan hati melayang mengingat hal-hal lainnya, maka hakikatnya, Allah tidak ada saat itu, meskipun kita melaksanakannya di dalam mesjid. Lalu di manakah, tempat menyembah Allah SWT ?

Kembali ke statmen dalam persaksian Syahadatain, bahwa : "Tempat menyembah adalah Allah. Artinya, dengan tetap mempertimbangkan aspek kebersihan dan kesucian tempat, kita bisa menyembah Allah dimana saja, kapan saja. Dzikir tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. Arah Qiblat atau menghadap kiblat dalam pelaksanaan shalat selain merupakan tatacara yang telah ditentukan, juga dipahami sebagai simbol persatuan dan kesatuan seluruh ummat Islam se dunia. Membanggakan, menakjubkan karena Islam memiliki kesamaan simbol yang bahkan bersifat internasional.

Jadi, sekali lagi, kita tetap melaksanakan shalat dan tetap menghadap kiblat meskipun saat itu berada di dalam kendaraan, atau pesawat terbang yang padahal secara phisik kendaraan yang kita tumpangi itu belum tentu menghadap kiblat!

Sahabat, kita bisa jadikan hamparan bumi Allah yang luas ini juga sebagai masjid. Karena kesaksian kaum muslimin yang beriman adalah : Hamba Bersaksi bahwasanya tidak Tuhan melainkan Allah Tuhan yang hamba sembah serta tempat hamba menyembah.


Diposkan oleh YAYASAN AKHLAQUL KARIMAH DARUL IMAN INDONESIA di 09.40