Home | Sejarah | Pimpinan | Inti Ajaran | Artikel | Arsip | Kontak Kami
Artikel YAKDI

Selasa, 21 September 2010

Mendengdangkan Kalam Tuhan..

Ramadhan 1431 H baru saja berlalu. Tapi masih membekas diingatan kita, betapa banyaknya tayangan televisi yang menyajikan lagu- rohani bernuansa religius pada setiap bulan suci itu. Kalangan awam sering juga menyebut lagu-lagu Islami. Adakah lagu-lagu tersebut merupakan bagian dari dakwah. Atau justru sebaliknya; pelecehan Agama, yakni penodaan sakralitas firman-firman suci oleh hegemoni kepentingan dunia industri.

Perdebatan, soal hukum lagu atau nyanyian dalam Islam, bukan hal baru, namun ada sedikit kekhawatiran saya ketika nyanyian tersebut menjadikan teks asli firman Allah sebagai liriknya. Kerisauan itulah yang mendorong saya menurunkan tulisan ini.

Hal ini bukan tanpa alasan. Betapa tidak, menjamurnya lagu-lagu religius di tengah-tengah masyarakat, tentu dimanfatkan oleh industri musik di tanah Air. Syah-syah saja. Persoalan muncul, jika lagu-lagu tersebut secara langsung menukil ayat-ayat Allah, menjadikan firman Allah sebagai liriknya. Menurut keyakinan saya, hal ini adalah sesuatu yang berlebihan. Merupakan pelecehan firman, pelecehan Iman.Saya bukanlah orang yang anti seni. Saya justru penikmat seni. Beberapa waktu lalu saat saya dan sejumlah teman di Yayasan Akhlaqul Karimah Darul Iman, melakukan threatment kepada sejmulah pecandu Narkoba, nyanyian dan lagu-lagu tertentu juga saya padukan sebagai salah satu methode terapi untuk para residen. Sejauh ini diyakini , bahwa lagu atau nyanyian dalam kadar tertentu dapat menggugah rasa, menyegarkan sel-sel baru dalam otak manusia.

Al-qur’an, sebagai kitab suci, bukanlah buku seni, meski diauki ayat-ayat dalam al-kitab, mengandung unsur seni yang luar biasa tinggi., Begitu tinggi posisi Al-qur’an sehingga pemeliharaan mu’jizat terbesar Nabi Muhammad SAW ini, langsung mendapat intervensi dari Al-khaliq. Karenanya, orisinalitas Al-qur’an tetap terjaga meski semua musuh-musuh islam berupaya keras memalsukannya. Agar menjadi pedoman hidup, ayat-ayat dalam Al-qur’an biasa diawali dari upaya membaca (tilawah) untuk dipahami , direnungkan dan diapresiasi (Iqra) serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Mempertimbangkan sakralitas dan substansi ayat-ayat tuhan dengan fungsinya seperti itu, membuat Al-qur’an menjadi rendah, jika hanya menjadi bagian dari bahan nyayian! Sebuah obyektivitas yang tidak bisa diperjualbelikan.

Al-qur’an diturunkan untuk manusia (hudallinnas). Agar bisa diaflikasikan secara nyata, maka Allah mengutus para Nabi, yang juga berasal dari kalangan bernama manusia, sebagai penjelas ayat-ayat Allah tersebut. Tujuannya, tidak lain agar manusia lebih beradab, berakhalk, berestetika juga beretika, sesuai keluhuran budi manusia itu sendiri. “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia,”(Al-hadist).

Menjadikan Al-qur’an sebagai sumber referensi, juga tak luput dari faktor etika atau adab-adab yang baik. Salah satu adab tersebut adalah berbusana yang sopan, berwudhu saat memegang dan membaca ayat suci, Kemudian lantunannya dengan suara yang syahdu, (merdu) dan sesuai dengan ilmu tajwid. Dalam kaitan itulah bisa dipaahami, munculnya gagasan menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang rutin menjadi agenda Nasional di tanah air.

Atas dasar tersebut saya berpendapat bahwa pembacaan ayat-ayat suci Alqur’an dalam bingkai seni, baik dalam acara MTQ, atau pentas lain yang sejenisnya, adalah haram, jika dalam pelaksanannya, menjadikan teks asli ayat suci tersebut menjadi nyayian, diiringi alat musik modern sambil berjingkrak-jingkrak dan bergoyang! Selanjutnya, dengan “selera” Iman yang masih tersimpan, saya mengajak kita sedikit merendah, lebih merendah: betapa lemah dan hinanya manusia, tapi sombongnya luar biasa. Begitu qudusnya sang khalik dan para utusannya, begitu munafiqnya manusia. Sungguh sebagian besarnya tak lagi mampu bertahan, sampai apapun diperjualbelikan. Demi benda dan banda pemberi kenikmatan....Ikhlas, niat suci katanya, tapi duit pula yang dipertuhankan!

Saya tidak sedang menuduh siapa-siapa. Hanya, biarkan kini logika Anda berfatwa; apa yang anda rasakan, jika mendengar kalimat Syahadatain yang merupakan kalimat “sumpah setia” kepada Alloh SWT, didendangkan dengan iringan musik, Surat Al-Ikhlas dinyanyikan dari pojok-pojok belakang diamini serempak oleh penonton sambil bergoyang, Shalawat badar “dilantunkan” secara seksi sambil bergoyang oleh seorang biduan yang juga populer akibat goyangannya. Atau dibalut gaya penampilan seorang rocker! Sebuah group musik rock dengan instrumen musik modern, menyanyikan kalimat takbir, tahmid dan tasbih dengan menghentak-hentakkan suara sambil berjingkrak-jingkrak!

Ya Allah, saya pun tidak anti musik serupa itu, tapi jika lirik yang dibawakannya adalah naskah teks asli Al-qur’an, maka sambil mengerut dada, saya membathin sambil beristighfar. “Adzab apalagi yang akan menerpa Republik ini ya Rabb..”

Praktek Ibadah Muslim dan non- Muslim sama

Terbayang oleh saya sebuah hadist, yang mengungkap; “Janganlah kalian berprilaku dan berpenampilan menyerupai penampilan Yahudi,”. Sebuah larangan serupa yang kira-kira sebanding dengan larangan Allah kepada seorang pria, menyerupai ( berdandan ) wanita. Nah, jika berdandan dan berpenampilan menyerupai Yahudi, saja, sudah tidak diperkenankan, lalu bagaimana pula murkanya Allah SWT, jika menyerupainya itu dalam praktek peribadatan! Kini, jika rekan kita dari kelompok non muslim menjadikan nyanyian sebagai bagian dari praktek ibadah, maka kaum muslimin pun, menurut saya, sama saja; karena puji-pujian kepada Tuhan,do’a-do’a yang dipanjatkan dalam bentuk naskah aslinya (firman Allah dan sabda Rasul) pun, terkemas dan tersaji dalam bentuk nyanyian. Menjadi paket ritual peribadatan!

Syair yang Menggugah!

Sahabat, saya tidak sedang membangun tembok penghalang kreatifitas. Sebab, bagaimanapun dan dengan cara apapun, kreatiftas dan seni adalah sesuatu yang tdak bisa dibendung. Islam sendiri tidak mengharamkan seni dan nyanyian. Islam sangat memberikan ruang yang luas agar manusia menemukan keagungan Tuhan justru dengan kreatifitas seninya! Namun demikian tetap saja diperlukan rambu-rambu agar segala kreatiftas berjalan dalam koridor harmonisasi alam. Agar manusia, menjadi pribadi yang bermartabat baik antar-sesama maupun dihadapan Tuhannya.

Dalam kaitan itu merujuk surat S.Al- luqman (31):6, sebagian ulama ada yang mengharamkan lagu-laguan .“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”.

Yang dimaksud lahwal hadits dalam ayat tersebut dipahami sebagai nyanyian, musik atau lagu. Antaralain diantaranya Al-Hasan, Al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 Aisyah ra, menuturkan sebuah Hadits Rasulullah Saw :“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].

Pengharaman lagu-lagu tersebut, menurut temuan saya, semuanya bermuara pada elat hukum berupa unsur-unsur kemunkaran (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram hal. 20-22). Disebutkan dalam kategori tersebut semisal, kata-kata kotor, penghinaan pada orang lain, pelecehan Allah dan Nabi,memicu hawa napsu dan perzinahan, menyuburkan narkoba, perjudian dan lain-lainnya. Dengan demikian, bisa disimpulkan, jika lagu atau nyanyian tidak mengandung unsur-unsur penyimpangan seperti diatas, atau tidak memfasilitasi timbulnya kemunkaran, maka hukumnya menjadi boleh. Bahkan sebagian ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian shahabat, saat peristiwa perang Khandaq :

Ya Allah, jika bukan karena Engkau ...
tidaklah kami terbimbing. Tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat
.Maka turunkanlah ketenangan kepada kami.
Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.

Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahwa syair-yair seperti itulah yang dibolehkan kerna termasuk nasihat yang berguna dan mengugah orang untuk berbuat baik.

Lagu Islami, Tidak Harus Berlirik Ayat Al-qur’an

Mengagungkan Tuhan dan memujinya dalam sebuah lagu, tidak harus identik dengan menjadikan Al-qur’an sebagai lirik lagu. Sebab ayat-ayat Allah yang tidak tertulis, jumlahnya jauh lebih banyak tersedia di alam semesta ini. Tafsiran tentang Tuhan, dengan segala sifat keagungannya di alam semesta ini jauh lebih dari cukup untuk sebuah lirik lagu.

Tengoklah bagaimana Group Bimbo asal Kota Kembang Bandung yang terkenal sebagai komponis lagu-lagu religi atau qasidah, mengagungkan firman Tuhan tanpa mendendangkan teks asli ayatnya. Lagu Tuhan, misalnya, merupakan lagu yang sangat populer di negeri ini, bukan hanya lengket di telinga kaum muslimin, tapi juga populer di kalangan non muslim. Selain lirik yang terkesan dalam dan puitis, lagu ini berkarakter lugas dengan menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. Bimbo merasa punya keyakinan kalau karakter vokal ketiganya memiliki kekuatan dalam menyampaikan “pesan-pesan Tuhan” yang ada di dalamnya. Sungguh luar biasa, lagu-lagu rohani seperti ini, mengajak manusia untuk selalu berhadap-hadapan dengan Al-Khalik. Terbukti pula hingga saat ini, tembang “Tuhan”, “Rindu Rasul”, “Ada Sajadah Panjang” dan lainnya masih relevan dengan kehidupan saat ini.Tak kalah hebatnya, menurut saya adalah sebuah lagu gubahan penyair Taufik Ismail yang secara syahdu dilantunkan oleh Krismansyah Rahadi, atau yang kita kenal dengan (almarhum) Chrisye berjudul, “Ketika Mulut Tak Lagi Berkata.” Mbak Damayanti istri mas Crisye, dalam sebuah wawancara di salahsatu TV, menuturkan” “…. Ketika berlatih di kamar menyanyikannya baru dua baris Chrisye menangis, menyanyi lagi, menangis lagi, berkali-kali…” Apakah gerangan yang membuat Chrisye menangis dan menangis, tak sanggup menyanyikan lagu yang liriknya ditulis oleh Bapak Taufik Abdullah itu?“Di dalam memoarnya yang dituliskan Alberthiene Endah, Chrisye, Sebuah Memoar Musikal, 2007 (halaman 308-309), Chrisye mengungkap, “Lirik yang dibuat Taufiq Ismail adalah satu-satunya lirik dahsyat sepanjang karier, yang menggetarkan sekujur tubuh saya.

Ada kekuatan misterius yang tersimpan dalam lirik itu. Liriknya benar-benar mencekam dan menggetarkan. Dibungkus melodi yang begitu menyayat, lagu itu bertambah susah saya nyanyikan! Di kamar, saya berkali-kali menyanyikan lagu itu. Baru dua baris, air mata saya membanjir. Saya coba lagi. Menangis lagi. Yanti sampai syok! Dia kaget melihat respons saya yang tidak biasa terhadap sebuah lagu.”

Taufiq memberi judul pada lagu itu sederhana sekali: “Ketika Tangan dan Kaki Berkata”. Lirik itu begitu merasuk dan membuat saya dihadapkan pada kenyataan, betapa tak berdayanya manusia ketika hari akhir tiba. Sepanjang malam saya gelisah. Saya akhirnya menelepon Taufiq dan menceritakan kesulitan saya. “Saya mendapatkan ilham lirik itu dari Surat Yasin ayat 65…” jawab Taufiq. Ia menyarankan saya untuk tenang saat menyanyikannya. Karena sebagaimana bunyi ayatnya, orang memang sering kali tergetar membaca isinya.Walau sudah ditenangkan Yanti dan Taufiq, tetap saja saya menemukan kesulitan saat mencoba merekam di studio. Berkali-kali saya menangis dan duduk dengan lemas. Gila! Seumur-umur, sepanjang sejarah karir saya, belum pernah saya merasakan hal seperti ini. Dilumpuhkan oleh lagu sendiri!”

Komisi Fatwa Majelis Ulama

Dalam bagian terakhir ini, ingin saya tegaskan, bahwa apa yang saya rasakan sebagai pelecehan Iman, bukan semata-mata, persoalan subyektifitas saya pribadi. Sebab jauh sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia telah membahas hal tersebut dan memfatwakan hal-hal terkait. (tentang fatwa : terlampir). Mungkin karena kondisinya tidak semeriah sekarang, menurut saya meski kesimpulannya terasa kurang “menggigit”, namun fatwa tertanggal 3 Desember 1983 M, bertepatan dengan 27 Shafar 1404 H itu mengandung mafhum mukhalafah terutama pada poin 2 (dua) bahwa:

1. Agar kesucian dan kehormatan serta keagungan AI-Quran tetap terpelihara, maka menyanyikan ayat-ayat alqur’an sesuai teks aslinya adalah haram. Jika pun boleh, sebut saja untuk sekedar contoh adalah kegiatan semacam MTQ, tidak dalam iringan instrumen, peralatan musik lengkap seperti yang kita saksikan dewasa ini (alat-alat musik yang oleh sebagian ulama salaf disebut sebagai al-alatul malaahy; alat-alat permainan).

2. Untuk memuja-memuji kebesaran Tuhan, cukup dengan menyanyikan/melagukan terjemahan Al-Qur'an saja, karena terjemahan Al-Qur'an atau tafsir tentang maksud pesan ayat tidak temasuk hukum Al-Qur'an.

Mudah-mudahan Allah mengampuni segala dosa dan kelalayan kita. Membimbing kita dalam setiap langkah kehidupan di dunia ini. Amiin.



MAJELIS ULAMA INDONESIA

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidangnya pada tanggal 27 Shafar 1404 H, bertepatan dengan tanggal 3 Desember 1983 di Jakarta:

Menimbang :

1. Bahwa pada dasamya agama Islam dapat menerima semua karya seni yang tidak bertentangan dengan ajaran dan hukum Islam;

2. Bahwa berda'wah juga dapat dilakukan melalui media seni;

3. Bahwa pada akhir-akhir ini telah tumbuh group musik yang membawakan lagu yang syairnya diambil dari terjemahan ayat-ayat suci A1-Qur~an;

4. Bahwa agar kesucian dan kehormatan serta keagungan AI-Quran tetap terpelihara dipandang perluMajelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang hal tersebut.

Memperhatikan :

1. AI-Qur'an surat Yasin : 69
"Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur'an itu tak lain adalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan."

2. Hadits riwayat Tabrani dan Baihaqi :
"Bacalah Al-Qur 'an dengan gaya bahasa orang-orang Arab. Dan janganlah dengan gaya bahasa orang Yahudi dan orang Nasrani dan orang-orang yang fasik. Sesungguhnya akan datang sesudahku orang-orang yang melagukan Al- Qur'an semacam lagu nyanyian. Iagu pen yembahan patung, dan lagu berteriak-teriak. Apa yang mereka baca tidak melalui ten ggorokan mereka. yakni tidak sampai ke hati. Hati mereka terkena fitnah dan juga terkena fitnah hati orang-orang yang membanggakan keadaan mereka."

3. Dan bacalah A'-Qur'an itu dengan tertib (sesuai dengan tajwid).Mendengar : Pendapat dan Saran-saran anggota Komisi Fatwa dalam rapatnya tanggal tersebut diatas.

Memutuskan : MEMFATWAKAN

1. Melagukan ayat-ayat suci Al-Qur'an harus mengikuti ketentuan ilmu tajwid.

2. Boleh menyayikan/melagukan terjemahan A1-Qur'an, karena terjemahan A1-Qur'an tidak temasuk hukum A1-Qur'an.


Diposkan oleh YAYASAN AKHLAQUL KARIMAH DARUL IMAN INDONESIA di 03.11