Rabu, 11 Mei 2016
Ulama Dilarang Menerima Bayaran
Ulama adalah pewaris Nabi, begitulah kira-kira bunyi dari salah satu hadits. Mewarisi apa? Yaitu mewarisi tugas kerasulan (menegakan Tauhid) dan mewarisi amanat Nabi (membimbing umat menjadi orang yang beriman) serta mewarisi ilmu Nabi.
Sebagai seorang ulama, maka yang bersangkutan diwajibkan untuk mencontoh karakter dan sifat Nabi Muhammad saw yang telah dijadikan Sunnah Nabi, yang menjadi panutan dan tauladan bagi manusia. Diantara Sunnah Nabi Muhammad saw adalah karakter disiplin, menepati janji, sederhana dan tidak mengeluh pada saat hidup dalam kemiskinan, serta dekat dengan orang-orang miskin. Inilah sifat dan karakter Nabi yang harus diperlihatkan oleh seorang ulama dalam memberi contoh kepada umat Islam dewasa ini.
Apakah pada saat ini contoh seperti itu kerap Anda jumpai dicontohkan oleh para ulama kita? Mungkin sangat sulit sekali mendapatkan seorang ulama dengan kehidupan yang sangat sederhana dan miskin, serta sangat dekat dengan orang-orang miskin. Justru kebanyakan ulama zaman sekarang ini mereka hidup berkecukupan, mereka berdakwah kemana-mana dengan cara berceramah dan menerima bayaran yang lumayan.
Besarnya bayaran itu tergantung dari tingkat terkenal atau tidaknya seorang ulama. Semakin terkenal seorang ulama maka bayarannya pun akan semakin besar pula. Demikian juga dengan isi dari ceramahnya itu, apakah menarik atau tidak, apakah menghibur atau tidak, semua itu juga menjadi faktor besarnya bayaran yang akan diterimanya.
Saudaraku sungguh ini adalah kondisi ulama yang diinginkan oleh iblis, musuh kita. Inilah kondisi yang sangat jauh bedanya dengan Sunnah yang dicontohkan oleh Rasullullah saw dahulu.
Nabi Muhammad saw dan para Rasul sebelumnya, mereka berdakwah kepada manusia bukan dengan ceramah belaka melainkan melalui hikmah dan contoh tauladan. Bagaimana mungkin seorang ulama tidak memahami hakekat ini? Bahwa berdakwah hanya dengan ceramah belaka tidak akan menghasilkan sesuatu yang berkesan dan bisa dijadikan hikmah dalam kehidupan umat.
Selain itu juga Nabi Muhammad saw dan para Rasul sebelumnya, mereka tidak pernah meminta upah atau pun bayaran untuk setiap hal yang disampaikannya. Bagaimana mungkin seorang ulama tidak memahami hal ini?
يَا قَوْمِ لاَ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى الَّذِي فَطَرَنِي أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
“Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?" (QS 11:51)
Ayat tersebut di atas adalah suatu Sunnah Rasul, suatu contoh dan tauladan Rasul yang seharusnya dicontoh oleh para ulama saat ini. Kalau seorang ulama tidak mencontoh hal ini, lantas bagaimana mungkin umatnya akan mencontoh apa yang dilakukan Rasul? Bagaimana mungkin isi ceramahnya akan mendatangkan pelajaran dan hikmah bagi umat?
Isi dari dakwah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw dan para Rasul sebelumnya juga tidak berisi cerita yang menarik atau cerita lucu yang banyak membuat orang tertawa. Akan tetapi isi dakwahnya adalah sesuatu pesan dari Allah swt yang memang harus disampaikan kepada umat, baik itu sesuatu yang disenangi maupun sesuatu yang justru tidak disukai oleh umat. Tidak perduli akan disampaikan juga.
Bahkan sebagian dari isi dakwah para Rasul itu adalah justru berupa ancaman, terutama ancaman bagi orang-orang yang berdosa. Tidak peduli siapa saja para pendengarnya seorang Rasul akan melontarkan ancaman Allah kepada para pendosa bahwa mereka akan dihinakan Allah dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat nanti.
Pada zaman sekarang ini hampir setiap orang membenci korupsi, tetapi pernahkah Anda mendengar seorang ulama berceramah yang isinya mengancam para koruptor akan azab Allah swt di dunia ini dan di akhirat nanti? Pernah kah Anda mendengar seorang ulama berceramah yang isinya menyatakan bahwa negeri ini sedang dalam keadaan diazab Allah? Pernahkah Anda mendengar ada ulama yang berceramah yang isinya menyatakan bahwa dari sekian banyaknya umat Islam saat ini, namun hanya sedikit sekali yang beriman? Pernahkah Anda mendengar seorang ulama memberitahu apa yang akan terjadi pada negeri dengan penduduknya yang tidak beriman?
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنْ السَّمَاءِ
وَالأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS 7:96)
Guru mengajari murid-muridnya untuk hidup dalam kesederhanaan dan menjauhkan diri dari bermewah-mewahan. Karena bermewah-mewahan akan membuat manusia cenderung untuk menjadi lalai sehingga lupa bahwa kehidupan dunia ini adalah sementara dan akan segera ditinggalkan. Guru juga memperingatkan para ulama yang hidup dengan bermewah-mewahan untuk segera ber-istighfar dan menempuh hidup dalam kesederhanaan.
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُونَ
ثُمَّ كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُونَ
كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), kemudian jangan begitu! Kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti (akibat bermegah-megahan itu), niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim.” (QS 102:1-6)
Dalam surat tersebut di atas Allah swt mengingatkan manusia untuk jangan sampai hidup bermewah-mewahan sampai kemudian menjadikan dia lalai. Tiga kali Allah swt menegur dengan kalimat: Jangan Begitu!
Seringkali terjadi bahwa dalam serba keprihatinan tersembunyi hikmah yang luar biasa. Suatu permata yang tak ternilai harganya, sebagaimana permata yang telah diperoleh Nabi dan para Wali, yang senantiasa mengikat perutnya untuk menahan rasa lapar. (AK/ST)
Diposkan oleh YAYASAN AKHLAQUL KARIMAH DARUL IMAN INDONESIA di 00.43