Home | Sejarah | Pimpinan | Inti Ajaran | Artikel | Arsip | Kontak Kami
Opini Aktual

Senin, 17 Oktober 2016

Tidak Ada Agama Bagi Orang Yang Tidak Mempergunakan Akal

Pada tahun-tahun sebelumnya, ada seorang ahli psikologi yang mengadakan penelitian terhadap kemampuan berfikir bayi yang baru berumur beberapa bulan. Dalam salah satu eksperimennya, seorang bayi dipasangkan sensor di kepalanya untuk merekam aktifitas otak bayi tersebut, kemudian sang bayi diperlihatkan gambar-gambar dan adegan di sebuah layar monitor. Ketika tiba saatnya diperlihatkan di layar tadi sekeping koin yang kemudian ditutup oleh penutup semacam mangkuk. Dan kemudian setelah beberapa saat kemudian mangkuk tersebut tadi dibuka, ternyata kemudian tampak koin yang sebelumnya hanya satu kini telah menjadi dua.

Bayi tadi kemudian merespon apa yang dilihatnya itu berupa aktivitas otak yang mengisyaratkan keheranan dan ketidakmasukakalan. Jadi meskipun masih berusia beberapa bulan saja, ternyata bayi menunjukan bahwa dia telah bisa mempergunakan akalnya. Aktivitas otak bayi menunjukan keheranan dan ada suatu kejanggalan terhadap kejadian yang dilihatnya tadi, meskipun bayi belum bisa mengungkapkannya dalam bentuk bahasa dan kata-kata.

Nah, sekarang apabila saat ini ada kejadian di suatu padepokan dimana uang dalam jumlah besar bisa digandakan oleh seseorang, maka sebenarnya secara fitrah akal manusia akan mempertanyakan kejanggalan tersebut. Karena menggandakan uang adalah sesuatu yang tidak masuk akal, sebagaimana bayi dalam eksperimen tadi juga meresponnya demikian.

Seseorang yang tidak pernah mempertanyakan kejanggalan dalam peristiwa penggandaan uang, dan memilih untuk taqlid mempercayai apa yang diucapkan oleh guru di padepokan tersebut, berarti orang tersebut tidak mempergunakan akalnya. Dalam hal ini Allah swt sangat murka terhadap orang-orang yang tidak mau mempergunakan akalnya tersebut.

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَعْقِلُونَ
“Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS 10:100)

Akal diciptakan Allah swt untuk manusia agar dia bisa mengambil pelajaran dari kejadian yang ada dalam kehidupannya, menimbang baik atau buruk dan memberikan analisa apakah sesuatu itu benar atau salah. Tanpa mempergunakan akalnya maka manusia seolah-olah membiarkan dirinya berada dalam keadaan gelap gulita. Dan pada hakekatnya tidak ada yang menyenangi keadaan gelap, kecuali syaithan.

Guru kita meminta kepada murid-muridnya bahwa dalam hal beragama pun kita harus mempergunakan akal. Jadi bukan hanya sekedar berlandaskan kepada dalil semata, akan tetapi akal juga harus dipergunakan untuk menuntun manusia agar supaya tidak terjerumus ke dalam kesesatan.

Dalam beberapa kasus mengapa seseorang bersedia menjadi seorang teroris misalnya, adalah karena hasil didikan dari ajaran yang sangat keras, yang hanya mengedepankan dalil semata. Sehingga seseorang akan didoktrin, dicuci otaknya dan diarahkan sesuai dengan kehendak pengajarnya dengan mempergunakan dalil-dalil al-Quran dan hadits Nabi.

Tanpa mempergunakan akalnya, maka seseorang akan berada di tempat yang gelap, tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah. Dia didoktrin untuk menerima dalil apa saja yang disodorkan kepadanya.

Ini tidak sejalan dengan misi ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasullullah saw, dimana Islam membawa seseorang dari kegelapan menuju cahaya.

هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلاَئِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنْ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS 33:43)

Namun demikian, cahaya yang dipancarkan oleh akal manusia adalah relatif lebih redup dibandingkan dengan Cahaya Allah Yang Maha Terang. Dalam suatu fase dan kedudukan tertentu dimana seseorang melihat Cahaya Allah sedemikian terangnya, maka kita harus mau menanggalkan akal kita. Karena ada yang jauh lebih terang dari akal manusia, maka akal akan bisa menjadi penghalang bagi terang.

Dalam kedudukan tertentu, Cahaya Allah jauh lebih terang dari akal manusia. Maka bagi Anda yang sudah mengalami kejadian tersebut maka akal sudah tidak lagi berguna, karena selanjutnya petunjuk dan ilmu akan datang dari Cahaya Allah itu sendiri, bukan akal. Maka pada peristiwa semacam ini, guru mengajarkan kita untuk berpegang pada petunjuk Allah itu, karena itulah pegangan yang tidak mungkin akan menyesatkan dan bisa disesatkan.

Sungguh sangat berbeda antara yang terang dengan yang gelap. Mudah-mudahan kita bisa dengan jelas memahami perbedaannya. (AK/ST)


Diposkan oleh YAYASAN AKHLAQUL KARIMAH DARUL IMAN INDONESIA di 18.27