Sabtu, 06 Januari 2018
Rasulullah saw Bukan Ahli Kitab
Guru kita mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa Allah swt tidak menyukai sikap dan karakter kebanyakan para ahli kitab orang-orang Yahudi dan Nasrani pada zaman dahulu. Kebanyakan dari mereka telah menyelewengkan ajaran asli dari Nabi Musa as atau dari Nabi Isa as. Mereka mempergunakan dalil-dalil dari kitab suci lalu diselewengkan untuk kepentingan diri dan golongannya sendiri.
Para ahli kitab tersebut bukanlah orang yang tidak mengerti ajaran agama, bahkan mereka adalah ahlinya. Mereka itu seperti ulama dan ahli agama bagi kebanyakan orang-orang Yahudi dan Nasrani pada waktu itu. Mereka merupakan orang-orang yang mengaku sebagai pemeluk dan pemelihara agama. Akan tetapi ternyata di dalam pandangan Allah swt, mereka para ahli kitab tersebut adalah sama saja dengan orang kafir atau orang musyrik. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS 98:6)
Binatang buas seperti harimau atau pun beruang, mereka tidak pernah menyembunyikan kebuasan mereka di hadapan manusia dan Tuhan. Begitu juga iblis, mereka tidak pernah menyembunyikan permusuhan dan kebencian mereka terhadap manusia di hadapan Tuhan. Akan tetapi para ahli kitab dahulu, mereka menyatakan diri mereka sebagai ulama bagi orang-orang Yahudi dan menampakan diri mereka di hadapan manusia seperti orang suci yang dekat dengan Tuhan. Namun pada kenyataannya tidak seperti itu, bahkan mereka mendurhakai Tuhan dengan menyelewengkan ajaran-ajaran para Nabi dan Rasul demi untuk kepentingan pribadi mereka. Itulah seburuk-buruknya makhluk.
Menjadi seorang ahli kitab tidak menjamin bahwa orang tersebut akan beriman. Pada hari ini banyak sekali ahli-ahli agama orientalis yang mempelajari al-Quran, akan tetapi hal tersebut tidak membuat mereka menjadi orang yang beriman. Sehingga kita boleh menyimpulkan, bahwa mempelajari kitab, mengerti dan memahami agama, tidak menjamin akan membuat seseorang menjadi orang yang beriman dan bertakwa.
Apakah Nabi dan junjungan kita Rasulullah saw adalah identik dengan seorang ahli kitab? Jawabannya adalah tidak.
Apabila ada seseorang mendatangi Rasulullah saw untuk meminta suatu pendapat atau meminta suatu ketetapan dari beliau, maka beliau tidak serta merta membuat suatu ketetapan pada saat itu juga dengan mempergunakan dalil ayat-ayat al-Quran yang sudah ada. Akan tetapi beliau biasanya akan menunggu dan bermunajat memohon Petunjuk Allah swt. Kemudian setelah Allah swt menurunkan Petunjuk-Nya melalui ayat al-Quran yang diwahyukan melalui malaikat Jibril, atau melalui wahyu yang diwahyukan Allah swt langsung kepada diri beliau, barulah kemudian Rasulullah saw memberikan ketetapan akan suatu permasalahan.
Sebelum itu pernah terjadi beberapa peristiwa dimana Rasulullah saw menetapkan sesuatu tanpa menunggu Ketetapan Allah swt, sehingga kemudian Allah swt menegur dan meluruskan ketetapan beliau. Misalnya adalah dalam kasus Khaulah binti Tsa’labah yang mengadukan perihal dirinya yang telah dizihar oleh suaminya Aus Bin Shamit.
Contoh lainnya adalah dalam kasus tewasnya paman Nabi Hamzah Ibn Abdul Muthtalib dalam perang Uhud, dimana jasadnya diperlakukan secara sangat tidak wajar. Perut belaiu dibelah dan hatinya dikeluarkan untuk dipotong dan dikunyah oleh Hindun Ibn Utbah Ibn Rabi’ah. Nabi yang sangat terpukul bermaksud untuk membalas kekejaman itu. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi saw berdoa agar tokoh-tokoh musyrik tersebut dikutuk Allah swt. Lalu kemudian Allah swt meluruskan hal ini dengan menurunkan ayat dalam surat Ali Imran ayat 128.
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (QS 3:128)
Setelah turunnya ayat ini, Nabi tidak sekalipun mengutuk seseorang dan tidak pula mendoakan yang buruk. Ketika ada yang mengusulkan agar beliau mendoakan kebinasaan seseorang atau sekelompok, beliau menjawab: “Saya tidak diutus untuk menjadi pengutuk, tetapi saya diutus mengajak dan membawa rahmat. Ya Allah, ampunilah kaummu karena mereka tidak mengetahui.”
Berdasarkan kisah-kisah tersebut, maka kemudian Rasulullah saw menjadi sebuah pribadi yang sangat berhati-hati. Tidak pernah mendahului Ketetapan Allah swt. Menjaga dirinya dari hawa nafsu dan keinginan pribadi. Senantiasa menunggu sampai Petunjuk atau Wahyu Allah swt datang.
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS 53:2-4)
Dalam beberapa kali pengajian, guru kita mengajarkan kepada murid-muridnya untuk memiliki sikap yang sama dengan Rasulullah saw. Jangan terlalu cepat membuat suatu ketetapan atau pun keputusan hanya berdasarkan pemahaman dan dalil semata. Kita harus sabar dan memohon Petunjuk Allah swt agar tidak salah dan keliru dalam menetapkan sesuatu.
Juga jangan sampai kita meniru apa yang telah dilakukan oleh para ahli kitab dahulu. Mempergunakan dalil-dalil kitab suci untuk menyelewengkan ajaran agama. Dilakukan yang demikian itu demi untuk kepentingan pribadi, golongan atau politik tertentu. Sehingga akhirnya Allah swt murka dan memasukan mereka para ahli kitab kedalam golongan orang-orang kafir dan menjadi seburuk-buruknya makhluk.
Lebih jauh lagi guru kita berpesan, agar supaya kita semua mengajak umat untuk mencetak generasi bangsa ini yang beriman dan bertakwa. Bukan mencetak generasi seperti ahli kitab terdahulu. (AK/ST)
Diposkan oleh YAYASAN AKHLAQUL KARIMAH DARUL IMAN INDONESIA di 23.44