Opini Aktual

Kamis, 19 September 2024

Kritik terhadap Doktrin al-Wala’ wal-Bara’

Banyak dari kita telah mendengar doktrin al-Wala’ wal-Bara’ di pengajian-pengajian ataupun pada ceramah dan khutbah Jumat. Ini adalah doktrin yang sangat keras yang sering didakwahkan oleh pengikut aliran Wahabi, Salafi, dan lain-lain.

Apakah al-Wala’ wal-Bara’ itu? Pada dasarnya al-Wala’ berarti mencintai, loyal, mendukung dan mengikuti. Sementara al-Bara’ bermakna menjauhi, meninggalkan, melepaskan diri, dan memusuhi (menurut prof. Noorhaidi Hasan, Guru Besar Politik Islam, UIN Sunan Kalijaga). Ini adalah ide utama yang kemudian menginspirasi Sayyid Qutb untuk mencetuskan gagasan politik Islam, yaitu bahwasanya pemerintahan itu milik Allah, jadi dengan demikian kedaulatan mutlak harus dijalankan berdasarkan Syariah Allah.

Awal mula doktrin al-Wala’ wal-Bara’ ini diperkenalkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri 'Mazhab Wahabi,' (1701 M-1793 M). Ajaran doktrin ini berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kemudian oleh kelompok salafi Islamis melihat hal ini sebagai dakwah hizbiyah yakni berjuang menegakkan Syari’ah Islam melalui jalur politik sebagaimana yang dipraktekkan oleh Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir yang kemudian juga dijadikan landasan gerakan salah satu partai politik di Indonesia saat ini.

Doktrin ini tidak tepat dan tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Mengapa?

Kondisi masyarakat Indonesia yang beraneka ragam dari segi budaya, adat dan agama menjadikan konsep ini tidak cocok. Bisa dibayangkan apabila semangat al-Wala’ wal-Bara’ diterapkan di sini, maka tidak ada lagi semangat persahabatan dan persatuan antar anak bangsa yang berbeda agama, kebiasaan dan adat.

Tidak ada lagi persahabatan dan persaudaraan antara komunitas yang satu dengan yang lainnya. Tidak boleh ada perbedaan, bahkan perbedaan pandangan pun tidak diperbolehkan. Tidak ada lagi semangat persatuan Indonesia.

Salah satu dampak dari penerapan doktrin al-Wala’ wal-Bara’ tidak saja merusak sendi politik, akan tetapi juga melahirkan gerakan radikal, seperti yang dilakukan oleh Jamaah Islamiyah. Kasus Laskar Jihad (1998), terror Bom Gereja (2000-2004), penangkapan terroris di Solo (2012), dan bom bunih diri di Polrestabes Medan (2019) adalah salah satu bukti bagaimana sesatnya doktrin ini apabila diterapkan di Indonesia.

Bom bunuh diri sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam manapun, dan justru bertentangan dengan firman Tuhan berikut ini:

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا ۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا
قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا
مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ

“Oleh karena itu, Kami menetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa siapa yang membunuh seseorang bukan karena (orang yang dibunuh itu) telah membunuh orang lain atau karena telah berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Sebaliknya, siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia. Sungguh, rasul-rasul Kami benar-benar telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Kemudian, sesungguhnya banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.” (QS 5:32)

Ingat! Rasulullah saw bukanlah seorang teroris, dan beliau tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menjadi teroris.

Membentuk pemerintahan berdasarkan syariat Islam, akan tetapi hukum syariat Islam yang mana? Karena di dunia saat ini ada berbagai macam pandangan yang berbeda tentang hukum syariat Islam.

Oleh sebab itu, maka sudah tepat sekali kiranya keputusan dan ketetapan yang diambil oleh para ulama pendahulu kita dan pendiri bangsa, yaitu bahwa persatuan, perdamaian dan keharmonisan adalah lebih utama daripada perpecahan. Yang dengan semangat dan pemahaman tersebut, maka pendiri bangsa ini memilih bahwa negara kita ini didasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan hukum syariat Islam yang banyak versinya dan berpotensi kuat untuk menghasilkan perpecahan.

Negara berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan hukum dibuat oleh masyarakat sehingga harmonis dengan keragaman agama, keberagaman hukum adat, dan keberagaman kebiasaan. Inilah perjanjian Hudaibiyah versi bangsa Indonesia, karena memang ternyata Islam akan berkembang pesat justru dalam kondisi yang aman dan damai. Sebaliknya Islam radikal dan teroris adalah alasan penghalang utama bagi seseorang untuk masuk Islam. (AK)


Diposkan Oleh YAYASAN AKHLAQUL KARIMAH DARUL IMAN pada 01.00