Kamis, 21 November 2024
Sekali Lagi Tentang Riba
Para pembaca yang budiman, sebenarnya masalah Riba ini sudah kita bahas pada tulisan yang telah lalu. Namun karena sampai dengan hari ini masih banyak sekali ustadz dan penceramah yang menurut penulis tidak tepat dalam menerangkan masalah Riba ini kepada umat Islam, maka baiklah kiranya sekali lagi kita akan membahasnya di tulisan ini.
Bahwa dalam hal Riba, ada suatu fakta penting yang dilupakan dan tidak pernah dibahas oleh kebanyakan para ustadz dan penceramah tadi, yaitu bahwa pada zaman Rasulullah saw dahulu, tidak ada depresiasi nilai mata uang dan inflasi. Semua jual beli dan utang piutang atau transaksi dilakukan dengan koin mata uang emas, perak atau tembaga.
Uang emas Dinar adalah berasal dari bahasa romawi yaitu kata Denarius yang artinya emas cetakan, yaitu uang emas yang dicetak oleh kerajaan Romawi. Sedangkan uang Dirham itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Drachma yang berarti perak cetakan. Meskipun berasal dari cetakan bangsa lain, uang Dinar dan Dirham pada saat itu dipergunakan oleh masyarakat Arab untuk bertransaksi.
Nilai dari emas, perak dan tembaga yang dipergunakan sebagai uang atau alat transaksi adalah relatif stabil dari waktu ke waktu. Hal yang sangat berbeda terjadi pada uang kertas, di mana nilainya relatif berfluktuasi dari waktu ke waktu. Uang kertas memiliki nilai nominal (yaitu angka yang tercantum dalam lembaran uang) dan nilai intrinsik (yaitu nilai beli dari uang tersebut).
Pada hari ini, khususnya di Indonesia, nilai mata uang rupiah akan berfluktuasi dan bahkan cenderung menurun dari waktu ke waktu atau dari tahun ke tahun. Dalam nilai uang rupiah terjadi depresiasi nilai mata uang dan juga ada inflasi serta fluktuasi terhadap harga-harga setiap tahunnya.
Misalnya saja ada sebuah kasus utang piutang seperti berikut ini. Pada tahun 2017, sepasang suami istri, sebutlah namanya pak Amir dan ibu Asri hendak menyetorkan Ongkos Naik Haji sebesar 80 juta untuk 2 orang. Sebelum hal itu terlaksana, datanglah seseorang sebutlah bernama pak Andi yang bermaksud untuk meminjam uang kepada mereka sebesar 80 juta karena sesuatu kebutuhan yang sangat mendesak. Uang pinjaman tersebut sesuai dengan janjinya akan dikembalikan dalam kurun waktu tidak lebih dari 7 tahun, dan agar supaya menghindari riba, mereka sepakat untuk tidak memperhitungkan bunga sama sekali.
Tibalah waktunya 7 tahun seperti yang dijanjikan, pak Andi membayar hutangnya kepada pak Amir sebesar 80 juta. Namun setelah utang dibayar, betapa terkejutnya pak Amir karena pada tahun 2024 ongkos naik haji adalah sekitar 56 juta untuk BPIH sekitar 94,3jt. Artinya pada saat meminjamkan uang kepada pak Andi dahulu dia bisa dipergunakan untuk membayar ONH 2 orang, namun kemudian pada saat utang tersebut dibayarkan, justru hanya cukup untuk membayar ONH 1 orang saja. Mengapa? Karena ada depresiasi nilai rupiah, inflasi harga dan ongkos serta fluktuasi harga penerbangan.
Jadi kesimpulannya adalah justru transaksi utang piutang seperti contoh kasus tersebut di atas tadi itulah yang disebut dengan Riba. Mengapa? Karena transaksi tersebut menyebabkan kerugian pada salah satu pihak (pak Amir dan istrinya), dan menguntungkan pihak lainnya (pak Andi). Transaksi yang tidak memperhitungkan depresiasi nilai mata uang juga bisa dianggap sebagai Riba.
Sehingga dengan demikian maka kita bisa simpulkan definisi kebanyakan ustadz dan penceramah saat ini tentang Riba yaitu setiap transaksi yang melibatkan atau menghitung bunga adalah Riba, merupakan definisi yang salah dan keliru. Contoh kasus seperti di atas adalah buktinya.
Definisi Riba yang benar seharusnya adalah setiap transaksi utang piutang yang menggandakan nilai intrinsik dari uang berkali-kali lipat antara pihak yang memberikan utang kepada pihak yang menerima utang karena keadaan yang terpaksa. Hal ini adalah sesuai dengan fiman Allah swt berikut ini:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةًۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS 3:130)
Dalam ayat tersebut di atas bahwa Riba itu dikatakan sebagai melipatgandakan nilai intrinsik dari pinjaman, sehingga hal tersebut akan menyengsarakan pihak peminjam. Akan tetapi apabila bunga atau selisih pinjaman dihitung dengan harga yang wajar, maka seharusnya itu bukanlah suatu Riba.
Misalnya pak Andi ingin menjual rumah seharga 150 juta rupiah pada hari ini dengan cara boleh membayar dengan diangsur selama 12 tahun. Apabila tidak diperhitungkan selisih nilai uang hari ini dengan 12 tahun kemudian, nilai manfaat uang dan nilai intrinsik dari uang, maka akan terjadi kerugian pada pak Andi. Karena 12 tahun kemudian ternyata harga rumah tersebut sudah mencapai 1,5 milyar rupiah. Jadi nilai manfaat, bunga dan indeks harga semuanya harus dihitung dan dijadikan sebagai nilai selisih harga penjualan dicicil selama 12 tahun.
Mengapa jual beli dihalalkan Allah swt? Karena dalam jual beli, meskipun ada selisih nilai harga antara ongkos dengan harga jual, akan tetapi nilainya ada dalam batas-batas yang wajar. Tidak berlipat ganda sebagaimana kasus Riba. Dengan demikian maka kesepakatan transaksi jual beli adalah tidak merugikan kedua belah pihak, dan mereka melakukannya dengan ikhlas.
Misalnya saja pak Eko membeli rumah pak Andi tadi dengan cara meminjam dari bank sebesar 150 juta, kemudian bank akan menghitung nilai bunga pinjaman atau pertambahan nilai manfaat serta keuntungan yang wajar dan akan menagihkan cicilannya kepada pak Eko selama 12 tahun. Hal itu bukanlah Riba.
Dengan demikian maka belum tentu setiap utang piutang atau pun pembelian secara kredit yang memperhitungkan bunga atau nilai manfaat uang adalah Riba. Mudah-mudahan para ustadz dan penceramah menyadari kekeliruan mereka akan hal ini. (AK)
Diposkan Oleh YAYASAN AKHLAQUL KARIMAH DARUL IMAN pada 14.55