Opini Aktual

Jumat, 22 November 2024

Kewajiban Membuat Hukum Fiqih Kontemporer oleh Ahlinya

Kewajiban untuk mematuhi dan tunduk kepada hukum agama adalah kewajiban tiap-tiap umat beragama. Oleh karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka sudah menjadi kewajiban bangsanya untuk membuat suatu kaidah hukum agama yang harus dipatuhi oleh para pemeluknya. Hanya bangsa yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa yang akan mendapatkan karunia dan perlindungan dari-Nya.

Kemudian, khususnya bagi umat Islam di Indonesia, maka sudah sewajarnya dibuat suatu kitab hukum Fiqih yang mencakup tata cara agama dalam bermasyarakat dan penetapan hukum-hukum sosial yang disahkan secara agama.

Kitab-kitab hukum Fiqih agama Islam telah banyak sekali ditulis oleh ulama-ulama besar dan termasuk juga imam-imam mazhab. Akan tetapi kitab-kitab tersebut ditulis pada zaman dahulu kala, di mana kondisi sosial masyarakat sudah jauh berbeda dengan saat ini. Oleh sebab itu sudah sepatutnya kita memerlukan suatu tuntunan hukum Fiqih yang sesuai dengan kondisi umat Islam saat ini, tuntunan hukum Fiqih Kontemporer.

Misalnya saja pada zaman Rasulullah saw dahulu, di kota Mekah dan Madinah saat itu, tidak ada depresiasi nilai mata uang, tidak ada inflasi atau fluktuasi harga. Setiap transaksi jual beli dan utang piutang saat itu mudah sekali dibedakan dengan Riba. Akan tetapi di zaman sekarang ini dan di negara seperti Indonesia ini, di mana terjadi depresiasi nilai mata uang, terjadi inflasi dan perubahan harga setiap tahunnya, nilai manfaat dari nominal uang terjadi perubahan, maka perlu didefinisikan apakah bunga atau perubahan nilai manfaat uang adalah Riba atau bukan.

Pada hari ini, transaksi jual beli bisa dilakukan secara online, di mana pembeli dan penjual tidak perlu bertatap muka, tidak perlu saling mengenal. Apakah secara hukum Fiqih Islam transaksi jual beli tersebut adalah sah atau tidak. Bahkan pada sebagian jenis transaksi jual beli ada yang mempergunakan sistem ‘pay later’, artinya membeli tapi dengan pembayaran di kemudian hari yang memperhitungkan tingkat bunga bank, tingkat perubahan nilai manfaat uang, dan sebagainya. Apakah transaksi semacam itu dapat disahkan secara hukum Fiqih Islam atau tidak.

Bukan hanya transaksi jual beli, pada hari ini banyak sekali kita mendapati perusahaan-perusahaan pendanaan menawarkan sistem pinjaman online. Bunga dan perhitungan nilai manfaat uang berbeda-beda. Apakah diperbolehkan ataukah tidak menurut hukum Fiqih Islam sistem pinjaman online tersebut.

Pembelian secara kredit pun bervariasi, mulai dari tukang kredit keliling kampung sampai dengan bank dan perusahaan ‘leasing’ untuk pembelian kredit perumahan atau kendaraan. Apakah secara hukum Fiqih Islam hal tersebut diperbolehkan atau tidak, kita perlu tahu dan mana saja yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.

Pada hari ini rata-rata ongkos naik haji reguler adalah sekitar 56 juta rupiah. Apabila kita menyetorkan ONH pada hari ini maka kita tidak bisa dengan serta merta pada bulan Zulhijah berikutnya berangkat. Kita harus menunggu sekitar 26 tahun kemudian untuk memperoleh giliran keberangkatan. Dan ternyata 26 tahun kemudian ongkos naik haji telah naik menjadi 150 juta rupiah. Apabila ongkos naik haji yang disetorkan saat ini tidak dimasukkan ke dalam bank dengan memperhitungkan nilai bunga atau nilai manfaat dari uang, maka 26 tahun kemudian kita harus menambahkan pembayaran ongkos naik haji sebesar 124 juta rupiah. Tentu saja hal ini akan menjadi runyam dan bermasalah apabila pada saat 26 tahun kemudian kita tidak memiliki tambahan dana sejumlah itu. Bagaimana hukum Fiqih tentang memasukkan uang setoran ongkos naik haji ke dalam bank, apakah diperbolehkan atau tidak.

Pada hari ini banyak sekali jenis transaksi yang belum pernah ada di dalam sejarah manusia sebelumnya. Misalnya saja Elon Musk ingin mendirikan perusahaan mobil merek Tesla di Indonesia. Di negara asalnya Amerika Serikat sendiri keuntungan tahun 2023 adalah sekitar 15 milyar dolar, atau sekitar 232 triliun rupiah. Oleh karena dinilai sangat menguntungkan, maka ketika hendak berinvestasi di Indonesia, banyak bank yang bersedia memberikan modal usaha kepada Elon Musk, misalnya saja dengan pagu sekitar 100 triliun rupiah. Nah, ternyata untuk mendirikan perusahaan perakitan mobil Tesla di Indonesia hanya dibutuhkan sekitar 50 triliun rupiah saja. Artinya pagu pinjaman sebesar 100 triliun terlalu besar, dan Elon Musk bisa menjual pagu sisanya sebesar 50 triliun kepada pihak lain yang bersedia membelinya dalam bentuk transaksi derivatif. Nah, apakah transaksi derivatif semacam itu diperbolehkan menurut hukum Fiqih Islam, kita perlu mengetahuinya.

Selain contoh-contoh kasus di atas, masih banyak sekali kasus-kasus kontemporer lainnya yang memerlukan tuntunan hukum Fiqih Islam. Dan tuntunan tersebut harus bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Bisa saja yang halal, mubah atau syubhat pada hari ini menjadi haram di masa berikutnya.

Kitab atau tuntunan hukum Fiqih Kontemporer ini adalah merupakan suatu kewajiban bagi para ulama, kyai ahli ilmu Fiqih dan orang-orang yang berkompetensi tinggi di bidang ini. Tanpa adanya tuntunan ini maka sudah pasti umat akan tersesat atau mudah disesatkan. Apa kata al-Quran tentang hal ini?

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا
فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَࣖ

“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya. Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS 9:122)

Tanpa adanya tuntunan hukum Fiqih Kontemporer dari ulama-ulama dan orang yang memiliki kompetensi yang tinggi tentang hal ini, maka umat Islam mudah sekali untuk diperdaya oleh kalangan tertentu dengan tujuan tertentu.

Misalnya saja banyak sekali kita mendapati fatwa-fatwa aneh dan nyeleneh dari orang-orang yang mengaku sebagai ulama. Misalnya saja fatwa tentang mengharamkan rokok, fatwa tentang wajib hukumnya salat berjamaah, fatwa tentang haramnya melakukan vaksin covid-19, atau haramnya bermain catur apabila melalaikan seseorang dari salat. Padahal apabila demikian, maka bukan saja bermain catur, orang yang bersedekah atau memberikan ceramah agama pun akan menjadi haram hukumnya apabila hal tersebut melalaikan orang dari salat.

Atau bisa juga saat ini banyak sekali fatwa-fatwa dikeluarkan oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi untuk tujuan-tujuan tertentu. Misalnya adalah fatwa bahwa BPJS adalah haram, fatwa mengucapkan salam kepada umat agama lain adalah haram, fatwa untuk melawan pemimpin yang tidak sepaham dalam hal pemahaman agama, investasi setoran ONH untuk dimanfaatkan jemaah lainnya adalah haram, fatwa menjanjikan surga bagi pemilih yang menentukan pilihannya kepada suatu calon pilihan tertentu, musik tertentu dinyatakan haram, tipe pakaian tertentu dinyatakan haram, dan sebagainya.

Umat Islam Indonesia benar-benar dalam kondisi darurat kebutuhan tuntunan hukum Fiqih yang dibuat oleh ulama-ulama dan orang-orang yang memiliki kompetensi dan legitimasi dalam hal itu.

Para pembaca yang budiman, pada hari ini mari membuat suatu gerakan untuk menolak fatwa orang-orang yang tidak memiliki kompetensi membuat fatwa, dan mengembalikan hal ini kepada majelis ulama yang sah dan memiliki kompetensi formal serta memiliki legitimasi sanad keilmuannya (memiliki ijazah dari guru yang turun temurun sampai dengan ke Rasulullah saw. (AK)


Diposkan Oleh YAYASAN AKHLAQUL KARIMAH DARUL IMAN pada 16.55