Opini Aktual

Minggu, 24 November 2024

Kehidupan Perkawinan Rasulullah saw

Para pembaca yang budiman, sungguh nabi yang telah diutus kepada orang-orang Arab Mekah saat itu adalah seorang yang memiliki akhlak yang luhur, akhlak yang mulia. Baik dia pada saat masih bujangan, maupun setelah dia menikah. Dia adalah benar-benar pribadi yang patut untuk dicontoh, seorang suami yang terpercaya dan sangat membahagiakan istri dan anak-anaknya. Dialah Muhammad bin Abdullah seorang al-Amin, yaitu seorang yang paling terpercaya di kota Mekah.

Pada saat bujangan, Muhammad bin Abdullah tinggal bersama pamannya Abu Thalib, dan mereka berdagang sampai dengan ke negeri Syam (Palestina, Yordania, Suriah dan Lebanon sekarang). Dagangan mereka laku keras, dengan cara berdagang yang unik, Muhammad sering kali dicari oleh para pembeli yang menyukainya karena kejujuran beliau dalam berdagang adalah sesuatu yang jarang terjadi pada masyarakat Mekah saat itu. Kecakapan, kejujuran, ketampanan dan pribadi yang sangat memesona tersebut akhirnya sampai ke telinga seorang janda cantik dan kaya raya di kota Mekah bernama Khadijah binti Khuwailid.

Ia pun sangat tertarik dan terpesona oleh pribadi Muhammad bin Abdullah tersebut, sehingga kemudian ia mengutus sahabatnya bernama Nafisah binti Munyah untuk melamar Muhammad bin Abdullah. Singkat cerita lamaran tersebut diterima dan kedua insan yang terpaut jauh usianya itu pun menikah, Muhammad berusia 25 tahun sedangkan Khadijah sekitar 40 tahun.

Muhammad yang masih muda saat itu memahami bahwa perkawinan adalah sesuatu yang penting untuk memiliki keluarga, keturunan, tempat mencurahkan kasih sayang, menaklukkan hawa nafsu dan belajar memikul tanggung jawab. Sehingga dengan demikian akhlak seseorang dapat dibina menuju kesempurnaan.

Pernikahan berjalan lancar, dipimpin oleh seorang pendeta Nasrani dari aliran Nestorian yang juga sepupu tertua Khadijah, yaitu Waraqah bin Naufal. Dialah salah seorang yang dikemudian hari menjadi salah satu orang pertama yang mengakui kenabian Muhammad.

Selesai upacara pernikahan dan tamu-tamu bubar, Khadijah membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan: “Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke jalan mana yang engkau ridhoi !”

Keluarga yang dibina oleh Muhammad dan istrinya Khadijah merupakan keluarga yang harmonis, mereka mendukung satu sama lain. Rumah tangga mereka damai dan penuh dengan kerukunan dan cinta. Keseharian mereka di dalam rumah bagaikan kehidupan surga, penuh dengan canda dan kasih sayang.

Muhammad dan Khadijah adalah seperti Adam dan hawa, seperti nabi Yusuf as dan Zulaikha, mereka se-iya sekata satu sama lainnya. Khadijah adalah pasangan sejati Muhammad, jadi ketika Allah swt menciptakan diri Muhammad maka Khadijah itulah satu-satunya jodoh dan pasangannya.

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ
اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS 30:21)

Pada saat itu, Muhammad adalah sosok suami yang sangat menyayangi istrinya, dan sangat bertanggung jawab terhadap keluarga yang dibinanya. Tidak pernah sedikit pun beliau berkeinginan atau memiliki hasrat untuk melirik wanita lain, meskipun dia sangat tampan dan banyak sekali wanita-wanita Mekah mengingini beliau. Dia bukanlah tipe lelaki yang mudah untuk menuruti hawa nafsunya, melainkan dia adalah sosok suami yang berhasil menaklukkan hawa nafsunya sendiri. Karena hawa nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan.

وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 12:53)

Sampai dengan akhirnya beliau diangkat menjadi seorang nabi, Muhammad saw tidak pernah sedikit pun memiliki keinginan untuk menikahi wanita lain dan berpoligami. Dia adalah suami yang setia kepada istrinya, dan hal ini terbukti sampai dengan ajal memisahkan mereka.

Setelah sekitar 25 tahun mereka membangun dan mengarungi biduk rumah tangga yang penuh dengan kebahagiaan, akhirnya di usianya yang sekitar 65 tahun Khadijah binti Khuwailid meninggal dunia karena sakit. Sorban Rasulullah saw itu sendiri yang biasa dipakai ketika menerima wahyu yang kemudian dijadikan kain kafannya. Menunjukkan betapa cintanya beliau kepada Khadijah, hingga dia menyatakan bahwa Khadijah, orang pertama yang masuk Islam dan mengakui kenabian Muhammad saw, seorang istri yang setia dan rela mengorbankan harta kekayaannya untuk suami tercinta, adalah salah satu wanita penghuni surga.

Para pembaca yang budiman, apakah kesimpulan yang bisa kita ambil dalam kisah nyata ini? Perkawinan adalah suatu kesempatan untuk kita membangun rumah tangga yang berbahagia, membangun surga di dalam rumah kita. Seperti Adam dan Hawa, seperti Yusuf dan Zulaikha, seperti Muhammad dan Khadijah. Jadi sudah sepatutnya jangan pernah kita kotori dengan pengkhianatan, perbuatan kotor akibat menuruti hawa nafsu semata.

Dalam keadaan normal, seseorang hanya diperintahkan untuk memiliki satu istri saja. Karena Tuhan hanya menciptakan satu pasangan saja buat setiap kita, hanya satu saja. Seperti ketika Tuhan menciptakan Hawa untuk Adam, hanya satu itu saja.

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَۚ
فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْ

“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.” (QS 4:3)

Normalnya seorang suami yang menuruti hawa nafsu, maka akan sulit baginya untuk dapat berlaku adil terhadap istrinya. Apabila dasarnya adalah karena ketertarikan, kecantikan dan hawa nafsu, maka sudah pasti seorang laki-laki akan lebih sayang dan lebih mengutamakan istri mudanya. Jadi sekali lagi, dalam keadaan normal, seseorang hanya diperintahkan untuk memiliki satu istri saja. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.

Apabila Anda ingin melakukan poligami, maka tunggulah sampai istri Anda meninggal dunia. Begitulah sunah Nabi yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. (AK)


Diposkan Oleh YAYASAN AKHLAQUL KARIMAH DARUL IMAN pada 20.45